Search This Blog

Pandangan Lengkap Edward Omar Sharif Hiariej di Sidang MK - Pilpres Tempo.co

TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah mada (UGM), Eddy atau Edward Omar Sharif Hiariej, menjadi saksi ahli yang diajukan oleh pasangan calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin, dalam sidang sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Bambang Widjojanto Merasa Ada Perlakuan Berbeda untuk Saksi di MK

Dalam persidangan kemarin, Eddy menyampaikan jika kuasa hukum pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno tidak ingin menyasar tentang hasil rekapitualsi melainkan mempermasalahkan hal lain yang berada di luar kewenangan MK.

Mula-mula Eddy menjelaskan dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan MK hanya terhadap kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, kubu Prabowo dalam gugatanya justru tidak mempersoalkan hal itu. “Tetapi justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi,” katanya seperti dikutip dari bahan materi yang Tempo terima, Sabtu, 22 Juni 2019.

Menurut Eddy, dengan menggunakan dalil yang kerap digunakan oleh kubu 02 bahwa MK bukan ‘Mahkamah Kalkulator’, secara tidak langsung, kata dia, pihak Prabowo mengakui jika tidak ada kesalahan dalam rekapitulasi hasil pemilihan presiden yang dilakukan KPU.

Eddy menjabarkan jika materi gugatan yang dilayangkan pihak Prabowo hanya menunjukkan pelanggaran Pemilu seperti penyalahgunaan APBN hingga masalah netralitas ASN. “pada hakikatnya adalah pelanggaran Pemilu yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seharusnya dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu,” tuturnya.

Selain itu, Eddy menilai tidak bisa jika pihak Prabowo menjadikan putusan MK tentang perselisihan Pilkada sebagai yurisprudensi dalam sengketa Pilpres. Hal itu bisa dijadikan sumber penemuan hukum jika mampu dijelaskan hubungan antara perkara yang sedang ditangani dengan yurisprudensi tersebut. Ia menilai perselisihan Pilkada tidak identik dengan Pilpres.

Eddy menuturkan dalam mengadili setiap perkara hakim bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya. Lagi pula masing-masing perkara mempunyai sifat dan karakter tersendiri. “Judicandum est legibus non exemplis. Artinya, putusan harus dibuat berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh,” ucapnya.

Penulis Buku Teori Dan Hukum Pembuktian ini juga menyoroti sikap kubu Prabowo yang mengutip pendapat Yusril Ihza mahendra saat menjadi saksi ahli dalam sengketa Pilpres 2014. Menurut dia, keterangan itu tidak bisa dijadikan rujukan lantaran saat itu MK menolak gugatan untuk seluruhnya.

Sementara itu, terkait tudingan kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, maka harus ada pembuktian yang menunjukkan adanya pelanggaran yang dilakukan secara kolektif. Eddy meminta ada dua hal yang dibuktikan, yakni adanya pertemuan di antara pelaku dan adanya kerjasama yang nyata. “Hal ini sama sekali tidak terlihat dalam Fundamentum Petendi,” tuturnya.

Adapun pada konteks kecurangan yang sistematis, menurut Eddy, beberapa hal harus dibuktikan seperti substansi perencanaan, siapa yang melakukan, kapan dan di mana. Namun ia menilai dalil yang diutarakan kuasa hukum Prabowo-Sandiaga terkait dugaan sistematis ini hanya berdasarkan prasangka. “Sayangnya vermoedens atau persangkaan-persangkaan bukanlah alat bukti dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Baca juga: Saksi Jokowi Sebut KPU, Bawaslu, DKPP Diundang ke Pelatihan Saksi

Sedangkan perihal kecurangan masif, mensyaratkan dampak pelanggaran yang luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan, bukan hanya sebagian. Menurut Eddy, harus ada hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dan dampkanya. Ia menilai kuasa hukum Prabowo-Sandiaga telah menunjukkan sejumlah peristiwa namun menggeneralisirnya. “Padahal, untuk mengetahui apakah berbagai pelanggaran tersebut mempunyai hubungan kausalitas dengan hasil Pilpres haruslah menggunakan teori individualisir,” ucapnya.

Eddy juga menyindir jika tim Prabowo menggunakan logika jungkir balik saat meminta beban pembuktian tidak dibebankan hanya kepada pemohon. Menurut Eddy, setiap mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum telah diajarkan asas actori in cumbit probatio. “Artinya, siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan,” kata Edward.

Dalam pandangannya, Edward Omar Sharif Hiariej juga meminta agar tim kuasa hukum Prabowo menghadirkan Presiden Indonesia ke-6 Susilo bambang Yudhoyono (SBY) sebagai saksi. SBY nantinya bisa ditanya tentang pernyataannya yang menyebut ada ketidaknetralan yang dilakukan Badan Intelijen Negara, TNI, dan Polri.

Let's block ads! (Why?)

Baca Dong Selanjut nya https://pilpres.tempo.co/read/1217194/pandangan-lengkap-edward-omar-sharif-hiariej-di-sidang-mk

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Pandangan Lengkap Edward Omar Sharif Hiariej di Sidang MK - Pilpres Tempo.co"

Post a Comment

Powered by Blogger.